Penyebab retaknya ukhwah dengan sesama salah satunya disebabkan urusan salah persepsi. Lalu melahirkan saling mencurigai dan saling bersu’udzon. Tak sengaja ketika kita menganggap seseorang berdasarkan persepsi kita maka yang terjadi adalah rasa kekecewaan terhadap semua orang. Sementara tanpa disadari hal ini juga membangkitkan rasa ego sedikit demi sedikit menjadi pribadi yang superior, tanpa cela, dan antikritik. Sampai akhirnya menganggap diri sendiri adalah segalanya. Sang manusia sempurna dan pemilik kebenaran seorang diri, atau kelompoknya semata. Betapa berbahayanya.
Jauh-jauh hari Nabi SAW mengingatkan, "Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah seduta-dustanya ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]. Pesan Nabi tidak sekadar nasihat biasa. Beliau mewanti-wanti supaya umatnya selalu menjaga diri. Betapa gelisahnya Nabi jika mengetahui ada diantara umatnya yang saling merendahkan sesama.
Berburuk sangka termasuk laku yang salah, pemantik dosa. Ketika seseorang berburuk sangka dan sangkaannya itu benar, maka sama sekali ia tak akan mendapat pahala apapun. Sementara jika ia berburuk sangka dan sangkaannya itu salah, maka pasti atasnya perbuatan dosa. Betapa tak bermanfaatnya berburuk sangka, menstigmaisasi, dan menghakimi seseorang dari apa yang sedikit pengetahuan kita tentang dia.
Bertemu dengan semua orang seharusnya menjadi cermin untuk diri kita untuk lebih baik lagi. Hal ini diawali dengan rasa saling percaya dan berbaik sangka. Ketika bertemu anak kecil, pikirkan bahwa bisa jadi ia jauh lebih baik dari kita, karena di umurnya yang sedikit, ia masih sedikit dosa dan salah. Ketika bertemu dengan orang tua, pikirkan bahwa ia jauh lebih baik dari kita, karena umurnya yang sudah sepuh, berarti ibadahnya pun jauh lebih banyak dibanding kita. Bertemu orang gila sekalipun ada kesempatan bagi kita berpikir positif, bisa jadi ia lebih baik dan lebih dulu masuk surga dibanding kita. Sebab, orang gila itu tidak dibebani syariat oleh Tuhan yang Maha Adil, sehingga ia tanpa cela. Terlebih ketika bertemu dengan manusia yang cacat fisiknya. Orang buta, tuli, bisu, bisa jadi mereka jauh lebih baik dari kita. Mereka tak pernah menggunakan inderanya untuk meliha, mendengar, dan mengucap dosa. Bukankah mereka lebih selamat di dunia dan akhirat? Lalu masihkah ada kesempatan kita merasa jauh lebih baik, lalu terbersit angkuh dan sombong, dan kemudian merendahkan manusia lainnya, bahkan kemudian menganggap bahwa pemilik kebenaran sempurna adalah sosok diri sendiri seorang? Wajarkah?
Wallahu a’lam bishawab.
0 Comments