Alkisah, ada dua hamba Tuhan yang sama-sama giat berdoa, sama-sama khusuk menyebut nama Tuhan, bahkan menangis karena memendam harapan yang sangat kuat.
Hamba pertama setiap kali berdoa, Tuhan lekas kabulkan. Hamba kedua sering kali berdoa, Tuhan tunda kabulkan.
Malaikat heran menyaksikan kebijakan Tuhan yang demikian. Ia menanyakan alasan Tuhan menunda jawaban doa hamba kedua yang menurutnya justru tampak lebih butuh daripada hamba pertama. Itu menurut malaikat.
Tuhan berkehendak lain, "Aku segera kabulkan doa hamba pertama, sebab aku tidak rela mendengar suaranya menyebut namaku, aku biarkan dia puas dengan keinginan-keinginannya yang aku kabulkan. Sementara aku menunda jawaban doa hamba kedua, sebab aku rela dia menyebut namaku, aku rindu mendengar suaranya dan aku biarkan dia datang kepadaku setiap waktu."
Kisah di atas tercatat di dalam Risalah al-Qusyairiyah karya Imam al-Qusyairi. Dari kisah itu, Tuhan hendak membantah dugaan manusia yang sering mengukur Tuhan dalam rumus kesenangan, kepuasan dan kelebihan.
Alquran merekam bantahan Tuhan itu dalam surah al-Fajr : "Maka apabila Tuhan menguji dengan kesenangan, manusia akan berkata 'Tuhanku telah memuliakan aku' dan apabila Tuhan menguji dengan kekurangan, manusia segera berkata, 'Tuhan sedang menghina aku'. Tidak, sungguh tidak demikian."
Manusia sering menempatkan Tuhan dalam saku celananya bernama 'kepentingan'. Ketika saku celana itu menyediakan segala apapun yang sesuai selera, manusia buru-buru bergembira dan menduga dirinya sedang sangat dekat dengan Tuhan.
Lebih dari itu, manusia mengungkapkan kegembiraannya sambil menuding orang-orang lapar, anak-anak putus sekolah dan kondisi keterbatasan, kekurangan lainnya sebagai wujud hinaan dari Tuhan.
Tidak begitu, kata Tuhan.
Kebijakan Tuhan adalah semata-mata ujian dan kegagalan manusia ketika menghadapi ujian adalah bukan karena dia tidak tahu, tetapi sebab dia menolak mengukur dirinya sendiri, "Apakah dia sedang 'dionggrong' atau 'dieman' oleh Tuhan?"
Bahwa hidup, sesungguhnya tidak sekadar tentang ada dan tidak ada, banyak dan sedikit, senang dan sedih.
Hidup 'harus' melampaui itu, manusia harus berusaha menghayati dirinya sendiri menuju titik 'mengenal' paling sunyi, yaitu ketika seluruh ritme kehidupan ujung-ujungnya takluk di pangkuan Tuhan.
Kiai Hasyim Muzadi allahu yarham sering mengingatkan kita dalam ceramah beliau,
"Kelonggaran dan kebesaran hidup manusia yang tidak bertanggung jawab, kelak akan memukul dan mencelakakan dirinya sendiri. Alquran menyebut itu dengan Istidraj."
Guru kami bilang, "Menungso kudu paham awake dewe sek seneng 'dionggrong' opo 'dieman' Gusti Allah. Manusia harus paham dirinya sendiri, apakah masih suka 'dimanja' atau 'disayang' Gusti Allah."
Duh Gusti, keri-keri dungoku isine kakehan jalukan, kakehan tagihan, kakehan sambatan.
😢 Tulisan Haibani Ebidzar
TðŸ˜
0 Comments