Selamat Datang di Blog GP Ansor Ranting Kranji


Informasi dan Pemesanan Klik pada Gambar

NU PASCA 1965

Gambar terkaitTak dapat dipungkiri, bahwa tragedi 1965 yang dikenal dengan Gestapu itu, peranan Nahdlatul Ulama (NU) cukup besar. Peristiwa yang diawali dengan pembantaian tujuh orang jendral yang konon dilakukan oleh pasukan Cakrabirawa yang telah terinfiltrasi oleh PKI itu, melibatkan warga Nahdliyin dalam pembantaian berbulan-bulan kemudian.

Warga Nahdliyin terlibat perang saudara dengan saudara sebangsanya, pengikut (atau dicap) PKI. Mereka saling membantai dibawah suatu dorongan yang tak pernah jelas asal usulnya. Dibawah dukungan (baca: tekanan) RPKAD, GP Ansor menjadi barisan terdepan untuk menumpas anasir yang disinyalir anggota dan simpatisan PKI.

Tak hanya GP Ansor, mahasiswa Nahdliyin yang berada di PMII dan pelajar Nahdliyin yang tergabung dalam IPNU ikut serta dilibatkan. Mereka masuk pada Kesatuan Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Keduanya merupakan kesatuan yang dibangun dalam sentimen anti komunisme.

Berlumurnya tangan warga Nahdliyin dengan darah orang-orang (yang dianggap) PKI tersebut, tak lantas menempatkan NU pada posisi strategis dalam pemerintahan. Peristiwa Gestapu yang menjadi titik tolak pergantian rezim orde lama ke orde baru, dari Soekarno ke Soeharto, justru memasukkan NU pada penderitaan lain.

Memasuki orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto, berbagai kebijakan politik NU yang kala itu menjadi partai terus dihambat. Para pengurus NU, seperti Subhan ZE, yang sempat terlibat dalam proses pendirian Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) - yang kemudian hari menjadi Golkar, salah satu instrumen politik utama penyangga rezim totaliter orde baru - mulai disingkirkan dalam kancah politik nasional.

Orang-orang NU secara bertahap oleh rezim orde baru disingkirkan dalam posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Dan tak segan juga mengadu domba para tokoh NU. Puncaknya terjadi pada tahun 1973. Partai NU yang merupakan salah satu partai besar pada pemilu 1971 dipangkas oleh orde baru. Partai NU difusikan kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama partai gurem yang bercorak Islam seperti Perti, Permusi dan PSII.

Tak hanya itu, orde baru juga melakukan serangkaian pemaksaan dan intimidasi kepada warga nahdliyin untuk menjadi bagian dari Partai Golkar. Banyak kiai yang dipaksa menjadi simpatisan Golkar. Tak jarang mereka menggunakan perangkat militer untuk memaksa para kiai. Para kiai dan tokoh NU lainnya, banyak yang ditahan dengan berbagai alasan yang dibuat-buat.

Beliau-beliau itu, ditahan di Kodim ataupun di Polres. Biasanya, mereka disuruh untuk menandatangani surat dukungan ke Golkar. Tidak heran jika Kiai Abdul Hamid Pasuruan yang juga sempat ditahan menyebut tahun 70-an itu sebagai tahun "innalillah" - tahun yang begitu mengerikannya.

Di Banyuwangi sendiri, proses pemaksaan Golkar kepada tokoh-tokoh NU tak kalah mengerikannya. Banyak tokoh NU yang ditahan, disiksa bahkan ada yang meninggal dunia, yaitu salah seorang pengurus GP Ansor Kecamatan Genteng.

Jika pun ada yang memilih Golkar dapat dipastikan citra tokoh tersebut akan habis. Pengaruhnya dalam masyarakat akan memudar dan santrinya hengkang. Meski, mendapatkan fasilitas dan tunjangan yang cukup tinggi dari pemerintah.

Perlakuan Orde Baru dalam mempreteli kekuatan politik NU tidak hanya melalui serangkaian pemaksaan. Tetapi juga secara sistematik pengaruh para kiai NU yang berbasis di desa-desa dikurangi. Dengan berbagai cara.

Untuk pertama kalinya sejak 1953, posisi Menteri Agama pada tahun 1971 lepas dari tangan NU. Saat itu yang ditunjuk menjadi Menag adalah lulusan McGill University, Mukti Ali. Pemikirannya yang modernis dan liberal membawa perubahan, terutama dalam kultur pendidikan Islam.

Perlakuan demikian dilakukan oleh orde baru karena rezim tersebut tak mau berbagi pengaruh di tengah masyarakat. Maka, berbagai cara itu dilakukan.

***

51 tahun sudah tragedi mengerikan itu terjadi. Meski lebih dari setengah abad, peristiwa itu masih diliputi misteri. Tak kunjung jelas siapa dalang dibalik itu semua.

Namun, sebagai generasi muda nahdliyin, peristiwa tersebut patut menjadi pelajaran penting. Jangan sampai sesama anak bangsa kembali dibenturkan. Mungkin, isu neo-komunisme atau bangkitnya PKI yang seringkali dihembuskan beberapa waktu lalu, tak lagi mendapat tanggapan berarti dari warga nahdliyin.

Warga nahdliyin semakin melek, kalau Gestapu yang menarungkan NU dengan sesama anak bangsa adalah ulah segelintir elit yang berkepentingan untuk menguasai bangsa. Terbukti, misalnya, seusai peristiwa Gestapu itu, NU justru disingkirkan.

Tapi, apakah kemungkinan itu tak ada lagi? Jawabnya ada. Dengan isu yang lain, akan tetapi ekskalasi konfliknya bisa setara Gestapu. Ya, isu Wahabi dan turunannya (khilafah).

Lambat laun, semakin lama, perasaan terancam dengan berkembangnya Wahabi makin meningkat. Tuduhan bidah, khurafat, sesat, kafir dan lain sebagainya menjadi lontaran Wahabi yang memerahkan kuping warga Nahdliyin. Tak jarang dalam taraf tertentu memunculkan konflik.

Parahnya, pancingan dari tuduhan-tuduhan Wahabi pada tradisi dan amaliyah warga Nahdliyin tersebut disambut reaktif. Warga NU mulai menyusun jawaban dan menyerang balik.

Jika ekskalasi tersebut semakin meningkat - sebagaimana polemik tujuh setan desa era PKI - tinggal tunggu pemicunya. Bisa jadi, kalau dulu tujuh jendral yang dijadikan pemicu, kini ada beberapa ulama NU yang akan dikorbankan.

Semisal, Pengasuh pesantren X tewas dibantai sekelompok orang yang beraliran Wahabi. Maka, dapat dipastikan gerakan pembantaian pada orang-orang Wahabi yang notabane-nya sesama anak bangsa akan mengikutinya.

Setelah itu terjadi, pasti NU kembali disingkirkan seperti pada masa orde baru. Para elit yang berkepentingan memperkosa bangsa ini kembali ongkang-ongkang.

Naudzubillahi min dzalik.

***

Mari kita doakan semua korban tragedi 1965 dan tahun-tahun selanjutnya. Semoga mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya. Al fatihah....

Post a Comment

0 Comments